Beranda | Artikel
AKIDAH MAKNA DAN URGENSINYA
Kamis, 18 Januari 2024

Semua ilmu tentang agama yang haq ini adalah penting, namun di antara yang penting itu, ilmu akidah menempati peringkat tertinggi. Karena ilmu ini berkait langsung dengan keimanan yang melandasi semua amal ibadah. Mengingat pentingnya ilmu ini, maka tim redaksi sepakat untuk mengulasnya secara berseri dalam rubrik akidah dimulai dari edisi ini. Untuk mengulasnya kami menjadikan kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin sebagai acuan. Semoga bermanfaat-red

Sesungguhnya ilmu tentang akidah merupakan ilmu yang sangat mulia, karena ilmu akidah membahas tentang dzat Allah عزوجل , sifat-sifat-Nya, hak-Nya untuk diibadahi, dan yang berkaitan dengannya. Al-Bazdawi رحمه الله berkata, “Sesungguhnya kemuliaan dan keagungan suatu ilmu tergantung pada apa yang diilmui, dan tidak ada yang lebih besar daripada dzat Allâh عزوجل dan sifat-sifatNya yang dibahas oleh ilmu (akidah) ini.” (Kasyful Asrâr, 1/8)

MAKNA AKIDAH:

Akidah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-‘aqd, artinya: kuat, ikatan, kokoh, mengokohkan. (Lihat: Lisânul ‘Arab, bab ‘aqada). Sedangkan secara istilah, akidah artinya: Keimanan yang kuat kepada Allâh, dan hak-Nya yang berupa tauhid, keimanan kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, Hari Akhir, serta keimanan kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dan perkara lainnya yang bercabang dari pokok-pokok ini dan termasuk padanya yang termasuk ushuludin (pokokpokok agama). (Lihat Risâlah al-‘Aqîdah ash-Shahîhah, karya Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bâz, hlm. 3-4; dan Risâlah Mujmal Ushûl Aqîdah Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm.5)

NAMA-NAMA LAIN DARI ILMU AKIDAH

  • SUNNAH

Banyak Ulama Salaf menyebut aqîdah shahîhah (akidah yang benar) dengan nama ‘sunnah’. Ini untuk membedakannya dari keyakinan-keyakinan dan pendapat-pendapat firqah-firqah (golongan-golongan) sesat. Karena akidah yang benar yaitu akidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah diambil dari Sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم , sedangkan sunnah merupakan penjelas al-Qur’ân.

Sebagian Ulama Salaf telah menulis kitab-kitab akidah dan mereka menamakannya dengan ‘as-sunnah’, di antaranya kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله , kitab as-Sunnah karya imam Ibnu Abi ‘Ashim, dan lainnya.

  • USHÛLUDIN

Sebagaimana sebagian Ulama menamakan akidah dengan ushûludin (pokok-pokok agama), karena agama Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم terbagi menjadi i’tiqâdât (keyakinan-keyakinan) dan ‘amaliyyât (amalan-amalan). Yang dimaksudkan dengan ‘amaliyyât adalah ilmu tentang syariatdan hukum-hukum yang berkaitan dengan cara amalan, seperti hukum-hukum shalat, zakat, jual-beli, dan lainnya. ‘Amaliyyât juga dinamakan far’iyyah atau furû’ (cabang). ‘Amaliyyât adalah semacam cabang untuk ilmu akidah. Karena akidah adalah ketaatan yang paling mulia, dan kebenaran akidah merupakan syarat diterimanya ibadahibadah yang dilakukan. Jika akidah rusak, ibadah tidak diterima dan pahalanya batal. Sebagaimana firman Allâh عزوجل :

﴿وَلَقَدْ اُوْحِيَ اِلَيْكَ وَاِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَۚ لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ٦٥ ﴾

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar/39: 65)

Imam Ibnu Abil ‘Izzi رحمه الله telah berkata di dalam mukaddimah Syarah Thahâwiyah:

أَمَّا بَعْدُ) فَإِنَّهُ لَمَّا كَانَ عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ أَشْرَفَ الْعُلُومِ، إِذْ شَرَفُ الْعِلْمِ بِشَرَفِ الْمَعْلُومِ. وَهُوَ الْفِقْهُ الْأَكْبَرُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى فِقْهِ الْفُرُوعِ، وَهَذَا سَمَّى الْإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ – رَحْمَةُ الله تعالى – مَا قَالَهُ وَجَمَعَهُ فِي أَوْرَاقٍ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ الْفِقْهَ الْأَكْبَرَ وَحَاجَةُ الْعِبَادِ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ حَاجَةٍ، وَضَرُورَتْهُمْ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ ضَرُورَةٍ؛ لِأَنَّهُ لَا حَيَاةَ لِلْقُلُوبِ، وَلَا نَعِيمَ وَلَا طُمَأْنِينَةَ، إِلَّا بِأَنْ تَعْرِفَ رَبَّهَا وَمَعْبُودَهَا وَفَاطِرَهَا، بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ، وَيَكُون مَعَ ذَلِكَ كُلِّهِ أَحَبَّ إِلَيْهَا مِمَّا سِوَاهُ، وَيَكُون سَعْيُهَا فِيمَا يُقَرِّبُهَا إِلَيْهِ دُونَ غَيْرِهِ مِنْ سَائِرِ خَلْقِهِ. وَمِنَ الْمُحَالِ أَنْ تَسْتَقِلَّ الْعُقُولُ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ وَإِدْرَاكِهِ عَلَى التَّفْصِيلِ، فَاقْتَضَتْ رَحْمَةُ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ أَنْ بَعَثَ الرُّسُلَ بِهِ مُعَرِّفِينَ، وَإِلَيْهِ دَاعِينَ، وَمِنْ أَجَابَهُمْ مُبَشِّرِينَ، وَمِنْ خَالَفَهُمْ مُنْذِرِينَ، وَجَعَلَ مِفْتَاحَ دَعْوَتِهِمْ، وَزُبْدَةَ رِسَالَتِهِمْ، مَعْرِفَةً الْمَعْبُودِ سُبْحَانَهُ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ، إِذْ عَلَى هَذِهِ الْمَعْرِفَةِ تُبْنَى مَطَالِبُ الرِّسَالَةِ كُلَّهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا.

ثُمَّ يَتْبَعُ ذَلِكَ أَصْلَانِ عَظِيمَانِ :

أَحَدُهُمَا: تَعْرِيفُ الطَّرِيقِ الْمُوَصِلِ إِلَيْهِ، وَهِيَ شَرِيعَتُهُ الْمُتَضَمَنَةُ لِأَمْرِهِ وَنَهْيهِ.

وَالثَّانِي: تَعْرِيفُ السَّالِكِينَ مَا هُمْ بَعْدَ الْوُصُولِ إِلَيْهِ مِنَ النَّعِيمِ الْمُقِيمِ.

Amma ba’du: Sesungguhnya ilmu ushûludin merupakan ilmu yang paling mulia, karena kemuliaan ilmu dengan sebab kemuliaan yang diilmui. Ilmu akidah adalah fiqih akbar (terbesar) dibandingkan dengan fiqih furu’. Oleh karena itu Imam Abu Hanifah menamakan ushûludin (pokkok-pokok agama) yang telah beliau katakan dan kumpulkan pada lembaran-lembaran kertas dengan nama fiqih akbar. Keperluan hamba terhadap ilmu akidah mengungguli seluruh keperluan dan kebutuhan yang paling pokok. Karena sesungguhnya hati tidak akan bisa hidup, merasakan kenikmatan dan ketentraman, kecuali jika hati itu mengenal Rabbnya, sesembahannya, dan Penciptanya, mengenal dengan namanama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatanperbuatanNya. Bersamaan dengan semua itu, Allâh عزوجل menjadi yang paling dia cintai, dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bukan kepada yang lain-Nya.

Akal sendiri mustahil bisa mengetahui dan memahami semua hal-hal di atas secara rinci. Oleh karena itu, dengan kasih sayang-Nya, Allâhk mengutus rasul untuk mengenalkan-Nya, mengajak manusia menuju Allâh, memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang menyambut (dakwah) mereka, dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang menyelisihi mereka. Allâh عزوجل menetapkan bahwa yang menjadi pembuka dakwah dan inti risalah mereka adalah ma’rifah (mengenal) Allâh عزوجل , mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifatNya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Karena semua permasalahan risalah dari awal sampai akhir dibangun di atas ma’rifah ini. Kemudian setelah itu diikuti dengan dua prinsip yang besar:

Pertama: Pengenalan tentang jalan yang akan bisa menghantarkan kepada-Nya, yaitu syariat-Nya yang memuat perintah dan larangan Allâh عزوجل .

Kedua: Pemberitahuan tentang kenikmatan abadi yang akan didapatkan oleh orang-orang yang menempuh jalan tersebut. (Syarah ath-Thahâwiyah, penerbit: Al-Auqaaf as-Su’udiyyah, hlm. 17)

Karena mayoritas masalah-masalah akidah termasuk ushûl (pokok-pokok), dan karena mayoritas masalah-masalah amaliyyah termasuk furu’ (cabang-cabang), maka akidah disebut ushûludin, sedang hukum-hukum amaliyah disebut furu’. Oleh karena itu sebagian Ulama menamakan karya-karya tulis mereka dalam masalah akidah dengan ushûludin, seperti: Al-Ibânah ‘an Ushûlid Diyânah, karya Abul Hasan al-Asy’ari; Masâil min Ushûlid Diyânât karya Abu Ya’la; Sullamul Wushûl ila Ilmil Ushûl, karya al-Hakami, dan lainnya.

Walaupun sebagian Ulama mengkritisi pengunaan istilah ushûludin hanya untuk masalah akidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata,

بَلْ الْحَقُّ أَنَّ الْجَلِيلَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الصِّنْفَيْنِ مَسَائِلُ أُصُولٍ ” وَالدَّقِيقَ ” مَسَائِلُ فُرُوعِ “.

Namun, yang benar adalah perkara besar dari keduanya adalah masalah-masalah ushûl, sedangkan perkara yang daqîq (samar/kecil) adalah perkara-perkara furu’”. (Lihat: Majmû’ Fatâwâ, 6/56; juga lihat 3/364, 367 dan 19/134)

  • FIQIH AKBAR

Sebagian Ulama juga menamakan ilmu akidah dengan fiqih akbar (fikih terbesar), karena akidah adalah pokok agama, sedang furu’nya yaitu fiqih amalan dinamakan fiqih ash-ghar. Imam Abu Hanîfaht telah menyusun masalah akidah dan beliau menamakannya dengan al-fiqhul akbar.

  • AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Mereka adalah para Sahabat Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai Hari Kiamat. Mereka adalah orang-orang yang berpegang dengan aqîdah shahîhah (akidah yang benar) yang terbebas dari noda bid’ah dan khurafat. Yaitu akidah Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم dan disepakati oleh para Sahabat Beliau صلى الله عليه وسلم .

Mereka dinamakan Ahlus Sunnah karena amalan mereka mengikuti sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم yang merupakan penjelas al-Qur’ân. Mereka mengamalkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Berpeganglah kepada Sunnahku dan Sunnah para khalîfah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. (HR. Ahmad, 4/126, 127; Abu Dâwud no: 4607; at-Tirmidzi, no. 2676; Ibnu Mâjah, no. 4244; dan lainnya dari al- ‘Irbâdh bin Sâriyah)

Mereka tahu bahwa petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم adalah petunjuk terbaik, sehingga mereka lebih mengedepankannya daripada petunjuk manusia yang lain.

Mereka dinamakan al-Jamâ’ah karena mereka bersatu mengikuti sunnah Nabib dan ijma’ Salaf umat ini. Mereka bersatu di atas kebenaran dan di atas akidah Islam yang bebas dari noda-noda.

Nabi صلى الله عليه وسلم juga menamakan dengan al-firqah annâjiyah (golongan yang selamat) yang mengikuti sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم dan jalan para Sahabat. Nabi صلى الله عليه وسلم juga menamakan mereka dengan alJamâ’ah. Dalam hadits shahih dari Mu’âwiyah bin Abi Sufyânz dia berkata: Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً – يَعْنِي: الْأَهْوَاءَ – ، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ ، لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ

Sesungguhnya dua ahli kita (Yahudi dan Nashara) telah berpecah-belah di dalam agama mereka menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umat (Islam) ini akan berpecah-belah menjadi 73 agama –yakni hawa nafsu- semuanya di dalam neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah. Dan sesungguhnya akan muncul di kalangan umatku kaum-kaum yang hawa nafsu-hawa nafsu itu akan menjalar pada mereka sebagaimana penyakit rabies menjalar pada penderitanya, tidak tersisa satu urat dan satu sendi kecuali penyakit itu memasukinya. (HR. Ahmad, 4/102; Abu Dawud, 4597; Ibnu Abi Ashim di dalam as-Sunnah, 1,2,65, dengan sanad yang hasan)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Oleh karena itu, golongan yang selamat disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Adapun golongan-golongan yang lainnya adalah orangorang yang nyeleneh, berpecah-belah, berbuat bid’ah, dan mengikuti hawa nafsu. Semboyan golongan-golongan itu adalah menyelisihi alKitab, as-Sunnah, dan al-Ijma’. Barangsiapa berkata berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah, dan al-Ijma’ dia termasuk Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah”. (Majmû’ Fatâwâ, 3/345-346)

Penamaan dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah adalah penamaan yang tepat, membedakan pemilik akidah shahihah dan para pengikut Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم dari golongan-golongan sesat yang tidak berjalan di atas petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم .

Di antara golongan-golongan itu ada yang mengambil akidahnya dari akal manusia dan ilmu kalam (fi lsafat) yang mereka warisi dari para filosof Yunani, lalu mereka lebih mengutamakannya daripada firman Allâh عزوجل dan sunnah Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم . Bahkan diantara mereka ada yang menolak nash-nash syariat yang telah pasti, atau mereka mentakwilkannya (menyimpangkan artinya) karena semata-mata akal mereka yang dangkal tidak menerima kandungan nash-nash tersebut.

Di antara golongan tersebut adalah: para Filosof, Qadariyah, Maturudiyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Asy’aryah, yang mereka bertaqlid kepada Jahmiyah pada sebagian pemikiran mereka.

Di antara golongan yang sesat ada yang mengambil akidahnya dari pendapat-pendapat guru-guru dan imam-imam mereka, yang berdasarkan hawa nafsu. Seperti: Shûfi yah, Râfi dhah, dan lainnya. Mereka mendahulukan perkataan guru-guru dan imam-imam daripada fi rman Allâh dan sabda Rasûl-Nya.

Sebagaimana sebagian golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada pendirinya dan pembangun prinsip-prinsip akidahnya. Seperti Jahmiyah, penisbatan kepada Jahm bin Shafwan, dan seperti Asy’ariyah nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari. Walaupun al-Asy’ari sudah meninggalkan akidahnya menuju akidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah, namun para pengikutnya terus mengikuti akidahnya yang menyimpang yang telah ditinggalkannya. Juga seperti al-Abadhiyah nisbat kepada Abdullah bin Abadh, dan lainnya.

Di antara golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada sebagian pemikiranpemikirannya yang sesat, atau kepada sebagian perbuatan-perbuatannya yang buruk. Seperti Râfi dhah nisbat kepada rafadh (penolakan) imâmah (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar c , dan berlepas diri dari keduanya. Qadariyah nisbat kepada penolakan adanya takdir. Khawârij nisbat kepada khurûj (memberontak) kepada pemerintah, dan selain mereka.

Allâh عزوجل menyelamatkan Ahlus Sunnah dari menisbatkan diri dan mengikuti selain Sunnah Nabib yang ma’shûm (bersih) dari kesalahan. Mereka tidak memiliki nama yang mereka nisbatkan kepada selain sunnah.

Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Mâlik رحمه الله , “Siapakah Ahlus Sunnah wahai Abu Abdullah?” Dia menawab, “Orang-orang yang tidak memiliki gelar yang menjadi identitasnya, bukan Jahmiyah, bukan Râfi dhah, dan bukan Qadariyah”. (Riwayat Ibnu Abdil Barr dalam al-Intiqa, hlm. 35)

Sebagian Ulama menyebut Ahlus Sunnah dengan ash-hâbul hadits atau ahlul hadits. Karena mereka memberikan perhatian kepada haditshadits Nabi, baik secara riwayah (periwayatan) maupun dirâyah (ilmu untuk mengetahui syaratsyarat riwayat, keadaan perawi-perawi dan syarat-syarat mereka, jenis-jenis periwayatan, dan yang berkaitan dengannnya), dan mereka mengikuti kandungan hadits, baik berupa akidah maupun hukum. Hadits dan sunnah adalah dua lafzah yang maknanya berdekatan.

Ahlus Sunnah juga disebut firqah manshûrah (golongan yang ditolong) sampai hari kiamat. Nabi صلى الله عليه وسلم menyebut mereka dengan sabdanya:

 وَلَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الحَقِّ مَنْصُوْرَةٌ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ

Sekelompok dari umatku akan selalu di atas kebenaran, ditolong, sampai datang perintah Allâh. (HR. Ibnu Hibban, no. 6714; Al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, no. 18617. Dishahihkan Syaikh AlAlbani dan Syu’aib al-Arnauth).

Dan mereka adalah firqah an-nâjiyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu’awiyah yang telah berlalu.

Demikian uraian singkat tentang akidah, makna dan urgensinya, semoga bermanfaat bagi kita semua.

1) Disadur oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin, hlm. 1-4, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin Nasyr wa Tauzi’.

Majalah As-Sunnah Edisi 08/Thn XVIII/Shafar 1436H/Desember 2014M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/akidah/akidah-makna-dan-urgensinya/